Sunday 14 June 2015

Malam Terakhir dengan Karlina (2 dari 3 Bagian)


Pertemuan singkatku dengan Karlina, berlanjut menjadi hubungan pertemanan yang cukup akrab. Tentu saja, kami hanya berteman dan tak lebih dari sekedar itu. Sehari usai perkenalanku itu, iseng-iseng aku menawarinya untuk berkenan mampir ke tenda yang letaknya paling ujung di kelurahan IV. Aku pikir tawaranku itu akan ditolaknya dengan bahasa halus sebagaimana orang-orang pada lazimnya. Ternyata dugaanku salah, Karlina justru dengan senang hati bersedia untuk mampir ke tendaku bersama seorang temannya. Amboi, betapa bingungnya aku waktu itu, apa lagi saat itu tenda masih dalam keaadaan kurang rapi. Dengan sikap sigap dan cepat segera kuminta teman-teman sanggaku untuk merapikan tenda, malu kan kalu tenda berantakan disinggahi tamu.
Rupanya benar, siang itu Karlina datang bersama seorang adik didiknya bernama Nia. Aku dan Kak Ofi, menyambutnya dengan lagu selamat datang khas anak-anak pramuka. Secangkir teh hangat kusuguhkan pada mereka berdua, sedang Kak Ofi malah menyuguhkan permainan puzle yang membuat mereka berdua berpikir keras.
Di sela-sela itu, kami ngobrol ringan sambil sesekali saling meledek astu sama lain. Ya, jujur saja terkadang ledekan yang dibumbui dengan canda dapat mengakrabkan orang-orang yang bahkan baru berkenalan sekalipun.
Lin, kamu orang Kalimantan asli ya?” tanyaku dengan wajah datar.
Iya...”
Oh... pantesan...”
Pantesan apa, Ram?” tanyanya agak penasaran.
Wajahmu kinclong banget, mirip batu akik yang baru digosok” ucapku pelan yang akhirnya menimbulkan tawa orang-orang yang duduk di teras tenda.
...” ekspresi kecewa bercampur dengan ekspresi menahan tawa menghiasi wajah manis Karlina.
Usai menemukan jawaban puzle yang diajarkan oleh Kak Ofi dan ngbrol “ngalor-ngidul” nggak tentu arah, Karlina dan Nia pun berpamitan. Hari itu, langit Tanah Laut Banjarmasin nampak begitu cerah mengiringi kepergian mereka berdua.
Awalnya, aku pertemuanku di siang menjelang sore itu adalah pertemuan terakhirku dengan Karlina, kenalan perempuanku yang pertama kali di PPSN IV, ternyata dugaanku salah.
Di malam terakhir PPSN IV, aku masih sempat bertemu dengan gadis keturunan suku Dayak itu. Ya, kami berjumpa di lapangan utama saat acara pentas seni perpisahan. Aku dan dia saling berkirim balas pesan menyampaikan tempat kami berdua duduk, awalnya aku tengok kanan kiri berkali-kali lanataran tak tahu pasti ihal posisi yang ia sampaikan melalui sms terakhirnya. Namun setelah sepersekian menit, kordinat tempat duduknya pun dapat kutemukan, dan ngobrollah lagi kita di sana.
Kami tak berduaan kok, karena di sana kami duduk bareng teman-teman bahkan gurunya Karlina.
Kamu nggak ke bazar, Ram?” tanya Karlina di antara obrolan kita malam itu.
Pengen sih, aku pengen nyari kain batik khas Kalimantan Selatan sini”
Owh, batik Sasirahan . . . ya udah ntar bareng aja, kita juga mau ke sana kok...”
Ehm... boleh, ntar aku tolong bantuin nyari ya, Lin...”
Okey...”
Sebelum pentas seni benar-benar usai, aku, Karlina, dan rekan-rekannya beranjak dari lapangan menuju ke tempat bazar. Karena ini malam terkhir, mungkin rekan-rekan Karlina juga hendak belanja oleh-oleh, sama sepertiku.
Kau tahu, aku agak canggung jalan dengan Karlina. Bukan apa-apa, aku jadi teringat yang di rumah, yang bahkan aku tak pernah mengajaknya jalan. Tak pernah sama sekali. Sialnya, tak jarang keadaan jalan yang sempit terkadang membuatku terpaksa berjalan dengan Karlina dengan jarak yang amat dekat.
Maaf Lin, bisa agak jaga jarak kan?”
Aha... kenapa? Ingat yang di rumah ya?” ucapanya menggoda.
Iya, nggak enak sama yang udah nunggu di rumah”
Untunglah Karlina mengerti posisiku dan status hubunganku, jadi hatiku sedikit lebih tenang. Aku tak ingin ada hati yang merasa kecewa usai pertemuan ini.
Aku, Karlina dan rombongan yang lain sempat berpencar. Ditengah perjalanan, kami jumpai Kak Ofi dan Kak Kholis sedang asik mencoba kacamata di depan si penjual sambil bertanya-tanya entah tentang apa.
Ram, kamu tunggu sini dulu ya... aku mau kesana dulu sama Nia, ntar aku balik ke sini lagi...” ucap Karlina setengah berlari. Dari wajahnya ia nampak tergesa-gesa dan tiba-tiba aku merasa kepergiannya itu akan lama.
Karena terlanjur mengiyakan permintaan Karlina untuk menunggunya, aku pun menepati ucapanku, dan benar rupanya, ia pergi lama sekali. Sambil menuggunya kembali, kusempatkan berbincang dengan penjual batu akik yang berada di pinggir bazar depan toko kacamata tempat Kak Kholis dan Kak Ofi berdiri tadi.
Masih nunggutemen adik yang tadi ya?” tanya penjual batu itu di sela-sela pembicaraan.
Iya, pak”
Pacar adik ya"
Bukan, kok!”
Lah dia orang Kalimantan kan?” selidiknya.
Iya, dia asli Kalsel, pak”
Wah-wah suatu saat pian pasti balik lagi kemari”
Loh, kenapa emangnya?”
Sudah mitos dik, apa lagi adik kayaknya kecantol sama gadis yang pakai jaket tadi...”
Ah, bapak ngaco aja ...”
Sudahlah, itu tak penting sebenarnya... ini, belilah batu yang ulun jual ini buat oleh-oleh keluarga pian di rumah sana...”
...?”
Tak terasa hampir setengah jam aku menunggu, akhirnya aku coba menghubunginya lewat pesan singkat, dan balasannya sungguh mengejutkan...
Maaf, Ram. Temenku tadi terpeleset dan jatuh nggak bisa bangun lagi, ini aku lagi perjalanan ke rumah sakit”
Aku terdiam, menatap rembulan yang bersinar di atasku sambil menarik pnjang napasku. Mungkin, inilah pertemuanku yang benar-benar terakhir dengan Karlina.
(Bersambung...)
Lanjut Membaca Bagian Akhir
Bagikan:

0 comments: