Saturday 3 June 2017

Ah, Sudahlah

Ada satu kejadian hari ini yang  mengingatkan saya pada penggalan puisi milik Gus Mus, Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana. Puisi tersebut hampir mirip sebuah ungkapan yang sering saya dengar dari beberapa rekan kuliah saya dengan logat campurannya, “Njuk aku kudu pie, dab!”. Kejadian yang akan saya ceritakan ini tidak penting-penting amat untuk disimak sebenarnya. Andaikan ada yang bertanya, “Kalau tidak penting lalu mengapa ditulis?”, maka (sambil nyengir) saya akan jawab, “Pengen, aja”. Lagi pula, ini bukan jurnal atau tulisan terlampau ilmiah yang membutuhkan latar belakang di bagian awalnya. Suka-suka.
Cerita ini dimulai dari sebuah grup obrolan di salah satu aplikasi perpesanan. Anggaplah itu merupakan grup kawan lama yang sebenarnya juga ndak terlalu penting-penting amat. Saya katakan demikian karena pada kenyataannya saya jarang ngobrol di sana meskipun saya ditarik jadi anggotanya, dan tidak berpengaruh apa-apa, sesederhana itu. Lain soal dengan grup komunitas yang memang saya masuk atas dasar keinginan pribadi saya, tentu sedikit banyak saya akan mencoba untuk berkontribusi dan memberikan sesuatu bagi rekan-rekan yang ada di sana. Pun demikian, bagaimana pun juga, mungkin karena terbiasa di grup komunitas, saya tetap mencoba untuk mematuhi rule/aturan grup yang diberlakukan di grup kawan lama tadi.
Singkat cerita, saya yang jarang-jarang muncul iseng membuka grup tersebut dan di saat yang bersamaan seorang anggota grup mem-broadcast sebuah tulisan agak panjang. Untuk hal broadcast semacam ini, sepertinya memang sedang marak-maraknya. Terlepas dari permasalahan isinya yang kadang menggurui, mengagamakan yang “beragama”, sekadar mengingatkan, mengucapkan selamat atau jenis-jenisnya yang lain, secara subjektif, saya kadang merasa tidak nyaman berada di lingkungan grup semacam itu. Lebih-lebih bila bahan yang disebarkan tersebut disangkutkan pada seorang tokoh atau kelompok tertentu dan mleset, dalam artian itu hanya penyangkutan yang asal-asalan agar seolah tulisan yang disebarkan tadi seolah terlihat penting, berbobot, atau layak untuk dijadikan rujukan shahih.
Tunggu dulu, ini bukan soal saya anti nasihat (pada dasarnya memang iya sih) atau semacamnya, namun satu hal yang ingin saya coba sampaikan adalah mbok jangan menaruh sesuatu sembarangan. Taruhlah emas dan batu pada tempatnya masing-masing. Di sisi lain, saya pribadi juga kadang merasa jemu dengan tulisan panjang semacam apapun itu bila tidak ditempatkan pada tempat yang sesuai. 8 dari 10 teman yang saya tanya secara personal, malah selalu melakukan skip terhadap tulisan-tulisan semacam itu terlepas isinya bagus atau tidak. Salah satu dari mereka bahkan nyletuk, “Bayangin aja, kamu kamu lagi asik ngobrol, bercanda, saling cela, trus tiba-tiba muncul khotbah panjangnya kalau dicetak mungkin bisa sampai dua lembar A4. Itu khotbah kok kaya obral produk”.
Gini rek, apa yang saya tulis ini juga ndak bener-bener amat, meskipun juga ndak salah-salah amat. Namun kadang saya kok jadi mikir aneh ya, khususnya untuk tulisan-tulisan yang disangkutkan pada nama tokoh atau kelompok dan isinya berupa nasihat. Itu mirip-mirip saya harus ngibul dengan mengatasnamakan orang lain untuk menasihati adik saya agar jangan keluar rumah. Kalau memang dari kitab atau semacamnya okelah, minimal bisa ditambahi catatan dan rujukan, meskipun tetap saja tulisan panjang di obrolan itu menyebalkan.
Kembali ke grup obrolan kawan lama, iseng saya minta kepastian terhadap nama yang dicatut dalam tulisannya. Meski ndak kenal-kenal amat, setidaknya saya sedikit paham tentang orang yang namanya disangkutkan di bagian ujung tulisan. Saya ndak ada masalah dengan konten tulisan, toh nyatanya aktivitas broadcast semacam itu memang diizinkan oleh admin grup. Cuma saya agak sangsi saja, apa benar si dia itu ngomong hal semacam ini, dengan bunga-bunga bunga-bunga dan nekawarna emoticon di chat-nya?
Sontak saja, tanggapan saya tersebut langsung ditanggapi oleh anggota grup lain. Si pengirim pun sempat bercuit, “Kalau memang situ lebih ngerti, tulis donk lalu kirim sini”. Kalau aku nulis lalu aku kirim ke grup, welleh sama saja nanti saya dengan si pengirim. Lagi pula, kan bukan itu soalnya. Di sisi lain, saya cuma cengar-cengir sebenarnya ketika mendapati seketika grup menjadi ramai hanya karena pertanyaan yang saya lontarkan. Tak sedikit yang menganggap pertanyaan semacam itu berlebihan, karena (oleh mereka) digolongkan sebagai kritik. Njuk aku kudu pie, dab? Diam dibilang apatis, tanya dibilang kritis. Apesnya lagi, ketika grup lagi ramai-ramai mencoba menceramahi saya agar mengamini pendapat anggota lain, seorang dengan polosnya mengirim pesan broadcast yang sedang disinggung sebelumnya ke ruang obrolan. Daripada ribut, saya iyakan sajalah apa yang mereka mau, toh juga kan itu hanya hal yang anggap saja sepele dan hanya bertendensi pada subjektivitas saya semata. Saya juga tidak rugi sedikit pun sebenarnya. Dari pada ribut, kan mending damai. Meskipun keblinger sithik-sithik yang penting damai. Skenario Tuhan memang asyik untuk dijalani, apalagi sambil tertawa.
Bagikan: