Wednesday 27 May 2015

Rama dan Rania (Bag. II End)

Terlalu asik memperhatikan permainan gitar akustiknya, membuatku terlena dan lagu yang ia nyanyikan kandas sebelum reff yang kedua. Agaknya Rania menyadari kehadiran diriku.reflek aku buru-buru menghadap ke bawah, menoleh ke kiri, kanan sambil menundukkan kepala seolah mencari barangku yang -tak- hilang.
“Nayla, sedang apa? Mencari sesuatu?” selidik Rania.
“Ah, tidak Ran. Kukira tadi ada barangku yang jatuh, mungkin cuma perasaanku aja, maklum lagi banyak tugas.”
“Benar...?”
“Hmm...” aku mengangguk. “Kamu suka lagu barusan?” ucapku mengalihkan perhatian.
“Oh, lagu tadi... Kamu dengerin aku ya?” jawab Rania sambil membuat senyuman, namun tak selang berapa lama wajahnya pasi.
“Iya, tadi dari luar, samar-samar aku dengar suaramu Ran” kudekati Rania, “gitarmu bagus.” sambungku.
Rania terdiam, ia malah tertunduk lesu sambil mengelus tabung resonansi gitar abu-abu yang masih di pangkuannya itu.
“Kenapa Ran? Kok jadi masam gitu wajahnya?”
“Kamu tahu Nay, ini adalah satu-satunya benda paling berharga yang masih kumiliki.”
Aku kurang mengerti dengan maksud Rania, alhasil aku hanya mengeryitkan dahi sebagai isyarat ketidak pahamanku.
“Iya Nay... aku punya kenangan tersendiri dengan gitar ini, sebuah kenangan kelam yang memberiku sebuah pelajaran berharga tentang arti sebuah persahabatan. Satu kenangan yang membuatku berani melangkah sampai hari ini.” Tuturnya sambil meneteskan bening air mata.
Agaknya peristiwa yang dialaminya begitu dalam dan menyedihkan. Aku jadi tak tega untuk melanjutkan.
“Ma... maafkan aku Ran, aku tak bermaksud mengungkit masa lalumu, aku tak ingin kau sedih”
“Nggak apa-apa Nay, suatu hari nanti kau pasti tahu, dan semoga kau masih mau berteman denganku pada hari itu”
“Iya! Pasti! Kita akan berteman selamanya. Jika butuh teman, datang saja padaku. Ada aku untukmu Ran.”
Aku berusaha menghiburnya, namun Rania justru malah langsung mendekapku, sebuah dekapan hangat dari seorang sahabat.
“Makasih Nay.” Bisiknya lirih.
Aku senang Ram, Rania mau mempercayaiku, tapi....
Rama,
Sebenarnya ada satu alasan lain yang membvuatku mengirim surat ini padamu. Aku ingin kau tahu apa yang tengah berkecamuk di batin sahabatmu ini. Mungkin aku bisa menebak pendapatmu, namun aku mohon Ram, berikan aku sebuah solusi,beri aku jalan keluar.
Rama, aku bingung sekali dengan apa yang sedang berlaku pada diriku. Aku tak ingin menjalani perasaan terlarang ini. Ya Ram, aku terlanjur mencintai Rania,menyayanginya lebih dari sekedar sahabat. Aku yakin engkau pasti tahu bagaimana perasaan-perasaan membingungkan yang menderaku saat ini. Tolonglah Ram, berikan aku titik terang agar aku terhindar dari dosa ini. Aku bahkan tak pernah berpikir bagaimana aku bisa mencintai sesama jenisku sendiri. Aku ingin tahu pendapatmu soal ini, dan tolonglah... Tolong bantu aku  keluar dari kegelapan ini.
Sobat,
Aku rasa cukup ini dulu cerita lepasku. Sebenarnya masih belum tuntas cerita yang ingin kusampaikan, namun tak apa, setidaknya lekaslah kau balas surat ini. Aku butuh saran darimu.

Sekian
Sahabat kecilmu
Nayla Prasilia.

Rama kembali melipat kertas merah jambu yang kini berpindah ke tangan kirinya dengan wajah penuh kerisauan. Bibirnya tampak bergetar mencoba untuk bertutur, namun tak ada sedikit pun suara yang mengapung di udara terdengar.
“Nayla, haruskah aku jujur bahwa Rania adalah diriku? Haruskah aku mengatakan, bahwa aku mengikutimu ke kota beberapa hari setelah keberangkatanmu? Aku mencintaimu Nay.” bisik Rama lirih.
Debur ombak masih saling bersahutan. Rama berdiri meninggalkan bibir pantai yang kini diselimuti kain malam. Tak tampak lagi pasir yang ditempatinya tadi, hanya jejak langkah tak beraturan yang pergi menjauh meninggalkan pantai dalam nyanyian ombaknya. Jejak yang mewakilkan kerinduan pada seorang sahabat masa lalu.


*Lirik lagu peterpan, “Jauh Mimpiku.”
Bagikan:

0 comments: